Minggu, 07 April 2013

Chelonia mydas


The green turtle is a large, weighty sea turtle with a wide, smooth carapace, or shell. It inhabits tropical and subtropical coastal waters around the world and has been observed clambering onto land to sunbathe.
It is named not for the color of its shell, which is normally brown or olive depending on its habitat, but for the greenish color of its skin. There are two types of green turtles—scientists are currently debating whether they are subspecies or separate species—including the Atlantic green turtle, normally found off the shores of Europe and North America, and the Eastern Pacific green turtle, which has been found in coastal waters from Alaska to Chile.
Weighing up to 700 pounds (317.5 kilograms) green turtles are among the largest sea turtles in the world. Their proportionally small head, which is nonretractable, extends from a heart-shaped carapace that measures up to 5 feet (1.5 meters). Males are slightly larger than females and have a longer tail. Both have flippers that resemble paddles, which make them powerful and graceful swimmers.
Unlike most sea turtles, adult green turtles are herbivorous, feeding on sea grasses and algae. Juvenile green turtles, however, will also eat invertebrates like crabs, jellyfish, and sponges.
While most sea turtles warm themselves by swimming close to the surface of shallow waters, the Eastern Pacific green turtle will take to land to bask in the sun. Occasionally seen sunbathing alongside seals and albatrosses, it is one of the few marine turtles known to leave the water other than at nesting times.
Green turtles, like other sea turtles, undertake lengthy migrations from feeding sites to nesting grounds, normally on sandy beaches. Mating occurs every two to four years and normally takes place in shallow waters close to the shore. To nest, females leave the sea and choose an area, often on the same beach used by their mothers, to lay their eggs. They dig a pit in the sand with their flippers, fill it with a clutch of 100 to 200 eggs, cover the pit and return to the sea, leaving the eggs to hatch after about two months. The most dangerous time of a green turtle’s life is when it makes the journey from nest to sea. Multiple predators, including crabs and flocks of gulls, voraciously prey on hatchlings during this short scamper.
Green turtles are listed as an endangered species, and a subpopulation in the Mediterranean is listed as critically endangered. Despite this, they are still killed for their meat and eggs. Their numbers are also reduced by boat propeller accidents, fishnet-caused drowning, and the destruction of their nesting grounds by human encroachment.



Baca Selengkapnya...

Jumat, 04 Januari 2013

SCORPION


Scorpions are members of the class Arachnida and are closely related to spiders, mites, and ticks. They are commonly thought of as desert dwellers, but they also live in Brazilian forests, British Columbia, North Carolina, and even the Himalayas. These hardy, adaptable arthropods have been around for hundreds of millions of years, and they are nothing if not survivors.
There are almost 2,000 scorpion species, but only 30 or 40 have strong enough poison to kill a person. The many types of venom are effectively tailored to their users' lifestyles, however, and are highly selected for effectiveness against that species' chosen prey.
Scorpions typically eat insects, but their diet can be extremely variable—another key to their survival in so many harsh locales. When food is scarce, the scorpion has an amazing ability to slow its metabolism to as little as one-third the typical rate for arthropods. This technique enables some species to use little oxygen and live on as little as a single insect per year. Yet even with lowered metabolism, the scorpion has the ability to spring quickly to the hunt when the opportunity presents itself—a gift that many hibernating species lack.
Such survival skills allow scorpions to live in some of the planet's toughest environments. Researchers have even frozen scorpions overnight, only to put them in the sun the next day and watch them thaw out and walk away. But there is one thing scorpions have a difficult time living without—soil. They are burrowing animals, so in areas of permafrost or heavy grasses, where loose soil is not available, scorpions may not be able to survive.

Type:
Bug
Diet:
Carnivore
Average life span in the wild:
3 to 8 years
Size:
Average, 2.5 in (6 cm); Largest, 8.3 in (21 cm)
Did you know?
Scientists aren't sure why, but scorpions are fluorescent under ultraviolet light.




Baca Selengkapnya...

Selasa, 25 Desember 2012

Status Konservasi IUCN



1.      EXTINCT (EX) – Punah

Status ini di berikan untuk takson yang sudah tidak di ragukan lagi telah punah

2.      EXTINCT IN THE WILD (EW) – Punah di alam liar

Suatu takson masuk dalam kategori ini jika keberadaan yang diketahui hanya di daerah konservasi. Jadi mereka ini tidak bisa kita temukan di alam liar, kecuali di penangkaran.

3.      CRITICALLY ENDANGERED (CR) – Kritis

Takson yang masuk dalam kategori ini berarti memiliki resiko tinggi untuk punah dalam waktu singkat

4.      ENDANGERED (EN) – Terancam punah

Status ini deberikan kepada takson yang menunjukkan memiliki resiko akan punah di masa yang akan datang.

5.      VULNERABLE (VU) – Rentan

Status ini menunjukkan suatu takson beresiko untuk punah.

6.      NEAR THREATENED (NT) – Hampir terancam

Status ini diberikan kepada takson yang kemungkinan akan punah

7.      LEAST CONCERN (LC) – Beresiko rendah

Status ini dikhususkan untuk takson yang telah dievaluasi tapi tidak masuk dalam kategori CR, EN, VU, NT.

8.      DATA DEFICIENT (DD) – Informasi kurang

Status ini dimaksudkan jika data ataupun informasi yang ada untuk mengklasifikasikan suatu takson dianggap kurang.

9.      NOT EVALUATED (NE) – Tidak dievaluasi

Sebuah takson diberi status NE jika belum dievaluasi berdasarkan kriteria.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 14 Desember 2012

Leucopsar rothschildi



Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) atau disebut juga Curik Bali adalah sejenis burung sedang dengan panjang lebih kurang 25 cm. Burung pengicau berwarna putih ini merupakan satwa endemik Indonesia yang hanya bisa ditemukan di Pulau Bali bagian barat. Burung ini juga merupakan satu-satunya satwa endemik Pulau Bali yang masih tersisa setelah Harimau Bali dinyatakan punah. Sejak tahun 1991, satwa yang masuk kategori “kritis” (Critically Endangered) dalam Redlist IUCN dan nyaris punah di habitat aslinya ini dinobatkan sebagai fauna identitas (maskot) provinsi Bali.

Jalak Bali ditemukan pertama kali oleh Dr. Baron Stressmann seorang ahli burung berkebangsaan Inggeris pada tanggal 24 Maret 1911. Nama ilmiah Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dinamakan sesuai dengan nama Walter Rothschild pakar hewan berkebangsaan Inggris yang pertama kali mendiskripsikan spesies pada tahun 1912.
Burung Jalak Bali ini mudah dikenali dengan ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Jalak Bali memiliki pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Antara burung jantan dan betina serupa.

Jalak Bali merupakan satwa yang secara hidupan liar populasinya amat langka dan terancam kepunahan. Diperkirakan jumlah spesies ini yang masih mampu bertahan di alam bebas hanya sekitar belasan ekor saja. Karena itu, Jalak Bali memperoleh perhatian cukup serius dari pemerintah Republik Indonesia, yaitu dengan ditetapkannya makhluk tersebut sebagai satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan hukum untuk menyelamatkan satwa tersebut ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 tanggal 26 Agustus 1970. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Jalak Bali merupakan satwa yang dilarang diperdagangkan kecuali hasil penangkaran dari generasi ketiga (indukan bukan dari alam).

Dalam konvensi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES  Jalak Bali terdaftar pada Apendix I, yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan. Sedang IUCN  memasukkan Jalak Bali dalam kategori “kritis” (Critically Endangered) yang merupakan status konservasi yang diberikan terhadap spesies yang memiliki risiko besar akan menjadi punah di alam liar atau akan sepenuhnya punah dalam waktu dekat.

Kepunahan Jalak Bali  di habitat aslinya disebabkan oleh deforestasi (penggundulan hutan) dan perdagangan liar. Bahkan pada tahun 1999, sebanyak 39 ekor Jalak Bali yang berada di pusat penangkaran di Taman Nasional Bali Barat, di rampok. Padahal penangkaran ini bertujuan untuk melepasliarkan satwa yang terancam kepunahan ini ke alam bebas.

Untuk menghindari kepunahan, telah didirikan pusat penangkaran yang salah satunya berada di Buleleng, Bali sejak 1995. Selain itu sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia juga menjalankan program penangkaran Jalak Bali. Tetapi tetap muncul sebuah tanya di hati saya; mungkinkah beberapa tahun ke depan kita hanya akan menemui Jalak Bali, Sang Maskot Bali, di balik sangkar-sangkar kebun binatang. Suatu hal yang ironis, melihat sebuah maskot yang harus dikurung dalam kerangkeng besi.



Baca Selengkapnya...

Senin, 10 Desember 2012

ALAM . . . . .


adalah surya pagi meraih lelap saat malam beringsut
kata hanya beberapa
samar beban hari menyeruak menunggu langkah insani

aku masih terbanting sepi saat kicau burung menghantar kepulan debu kota
hijauku, manis nian engkau...
warnamu begitu nyaman terserak di sisi jalan tanpa perlu kami rawat

pada alam kita terbentang memenuhi daratan
nikmati gembira dan tangisnya

maafkan kami,
pengais rezeki yang tak habis menjarahmu...
hutanmu kami tikam dalam keserakahan
daratanmu kami penuhi dengan teknologi penghancuran
airmu kami cemari dengan kesenangan hidup...

maafkan kami,
karena untuk sepiring nasi kami rela mendustai hakekat kami terhadapmu...

sayangku,
janganlah kiranya kemarahanmu berlarut
walau itu adalah kesalahan kami sendiri...
kami telah menebusnya dengan erangan dan jerit tangis pilu
karna tanah yang runtuh
karna gerak samudra yang mengharu biru
dan
karna gunung yang meronta...
habis kami pada amarahmu yang tak tertandingi...

duhai Sang Maha Pencipta
mohon ampunan dan welas asihMu atas kelaknatan kami
nurani kami gelap untuk kegemilangan hal yang fana
hati kami buta melihat kodrati kami

tolonglah kami untuk bijak menimbang
antara cinta diri dan alam!
Baca Selengkapnya...

Harimau Sumatera

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered). Jumlah populasinya di alam bebas hanya sekitar 400 ekor. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, harimau mempertahankan populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya, sehingga keseimbangan antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat terjaga.


Harimau Sumatera menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup: mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam oleh perdagangan illegal dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan  dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi. Harimau Sumatera hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera, Indonesia.

Ciri-ciri Fisik


Harimau Sumatera memiliki tubuh yang relatif paling kecil dibandingkan semua sub-spesies harimau yang hidup saat ini. Jantan dewasa bisa memiliki tinggi hingga 60 cm dan panjang dari kepala hingga kaki mencapai 250 cm dan berat hingga 140 kg. Harimau betina memiliki panjang rata-rata 198 cm dan berat hingga 91 kg. Warna kulit harimau Sumatera merupakan yang paling gelap dari seluruh harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua.   

Ancaman


Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan. Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama WWF dan  lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk monitoring perdagangan satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian tubuh harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50 harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002. Penindakan tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus segera dilakukan di Sumatera.   

Populasi Harimau Sumatera yang hanya sekitar 400 ekor saat ini tersisa di dalam blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan. Sebagian besar kawasan ini terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial,  juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Bersamaan dengan hilangnya hutan habitat mereka, harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia dan seringkali dibunuh atau ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan tanpa sengaja dengan manusia.

Provinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau Sumatera.  Sayangnya, sekalipun sudah dilindungi secara hukum, populasi harimau terus mengalami penurunan hingga 70 persen dalam seperempat abad terakhir. Di Provinsi Riau, saat ini diperkirakan hanya tersisa 192 ekor harimau di Riau.  

Upaya yang WWF


WWF bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, organisasi konservasi lainnya, dan masyarakat setempat untuk menyelamatkan harimau Sumatera dari ancaman kepunahan. WWF juga berupaya melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan perusahaan yang konsesinya mengancam habitat harimau agar mereka mampu menerapkan praktik-praktik pengelolaan lahan yang lebih baik (Better Management Practices) dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia di tahun 2004 telah mendeklarasikan sebuah kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai taman nasional untuk memastikan perlindungan gajah dan harimau Sumatera di alam. WWF juga berpartisipasi aktif dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan RI.

Saat ini, WWF sedang melakukan penelitian ilmiah tentang harimau Sumatera di Riau dengan menggunakan kamera jebakan (camera trapping) untuk memperkirakan besarnya populasi, habitat, dan distribusi satwa loreng tersebut, serta untuk mengidentikasi koridor-koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan. WWF--bersama dengan mitra terkait di lapangan--juga membentuk tim patroli anti perburuan dan tim pendidikan dan penyadaran yang bertugas membantu masyarakat lokal memitigasi konflik manusia-harimau di daerah-daerah rawan konflik harimau.


Baca Selengkapnya...

Jumat, 07 Desember 2012

Helarctus Malayanus (Beruang Madu)


Beruang madu atau dalam bahasa latin disebut Helarctos malayanus merupakan spesies (jenis) beruang terkecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang madu (Helarctos malayanus) yang suka menyukai sarang lebah (anak lebah dan madunya) sebagai makanan favoritnya ini merupakan binatang khas (fauna identitas) provinsi Bengkulu. Binatang pemakan madu ini juga menjadi maskot kota Balikpapan.
Beruang madu dalam bahasa ilmiah disebut sebagai Helarctos malayanus. Sedangkan dalam bahasa Inggris “Malayan Sun Bear” atau “Sun Bear”. Spesies beruang terkecil ini merupakan satwa yang dilindungi dari kepunahan secara International. Oleh IUCN Red List, binatang pemakan lebah dan madu yang pandai memanjat ini dalam status konservasidi kategorikan sebagai “Rentan” (Vulnerable; VU).

Ciri Beruang Madu

Beruang madu (Helarctos malayanus) mempunyai panjang tubuh sekitar 1,4 meter dengan tinggi punggungnya sekitar 70 cm. Beruang madu dewasa mempunyai berat tubuh antara 50-65 kg. Dengan ukuran tubuh ini, menjadikan Beruang madu sebagai beruang terkecil diantara jenis-jenis beruang lainnya yang terdapat di dunia. Beruang madu berwarna hitam, dengan bulu yang keputih-putihan atau kuning yang berbentuk “V” di dadanya. Moncongnya berwarna lebih cerah dari warna dadanya. Beruang madu mempunyai kuku yang panjang-panjang dan terdiri dari masing-masing lima pada sepasang kaki depan dan belakang. Kaki depannya menghadap ke dalam dan tapaknya licin. 
Dengan kukunya dan bentuk kakinya inilah Beruang madu mampu memanjat pohon-pohon yang berbatang lurus dan tinggi dengan cepat dan mudah. Dalam kondisi liar, usia hidup spesies beruang terkecil ini tak diketahui. Sedangkan dalam kurungan, beruang bernama latin Helarctos malayanus ini mencapai umur 28 tahun. Binatang pemakan madu ini mampu bereproduksi sepanjang tahun. Beruang madu mengandung selama 96 hari, dan menyusu selama 18 bulan. Mencapai kematangan seksual setelah berumur 3-4 tahun. Beruang madu hidup di hutan-hutan dataran rendah, hutan perbukitan, dan perbukitan atas sampai ketinggian 1.500 meter. Penyebarannya mulai dari Bangladesh; Brunei Darussalam, Kamboja, China, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia, Beruang madu terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Habitat 

Beruang madu walaupun termasuk ke dalam ordo karnivora (pemakan daging) tetapi bersifat omnivora (pemakan segala), antara lain binatang-binatang kecil, burung, ayam hutan, buah-buahan dan daun-daun tertentu terutama pucuk-pucuk palem. Makanan yang paling disukainya ialah sarang lebah (anak beserta madunya), oleh karena itulah binatang ini disebut “beruang madu”. Caranya seekor beruang memangsa sebuah sarang madu, ialah dengan memasukkan kuku­kuku kaki depannya ke dalam sebuah sarang yang sudah ada madunya, lalu menjilat madu beserta anak lebah itu dari dalamnya. Kegiatan mencari makan dilakukan pada malam hari.

 

Konservasi

Sejak tahun 1994, Beruang madu (Helarctos Malayanus) (Vulnerable; VU) ancaman kepunahan terhadap Beruang madu cukup memprihatinkan. Beruang madu banyak diburu orang karena punya nilai jual cukup tinggi. Yang sering kali diperjualbelikan di pasar gelap antara lain empedu, daging dan bulu dewasa. Selain itu juga Beruang madu dewasa maupun anak-anak yang dijual sebagai binatang peliharaan. Ancaman lain terhadap populasi Beruang madu adalah rusaknya habitat akibat pembukaan hutan untuk pemukiman dan perkebunan serta kebakaran hutan yang semakin mempersempit ruang binatang pemakan madu ini.


Baca Selengkapnya...